Qasidah Burdah Yang Mendunia
Secara Etimologi bahasa, burdah arti-nya adalah selimut, atau jubbah.
Sedangkan qasidah burdah adalah qasidah atau untaian sair-sair indah
yang disusun oleh al-Imam Busyyiri yang berisikan sejarah, nasab
keturunan Rosulullah Saw, serta sanjungan-sanjungan keagungan Rosulullah
Saw, serta untaian doa-doa yang dipanjatkan kepada Alloh Swt.
Sebenar-nya nama kitab sair-sair tersebut adalah “Al-Kawakibud Durriyyah
Fî Madhi Khairil Bariyyah” untaian bintang-bintang mutiara, adajuga
yang menyebutnya “Qasidatu Bur’ah” untaian sair-sair penyembuh.
Sebagaiman sarat dengan sejarah penulisan-nya, sair-sair burdah disusun yang sebelum-nya al-Imam Busyiri mengalami penyakit lumpuh, akan tetapi pasca mengubah gubahan sair sair burdah tersebut, beliau bermimpi bertemu Rosulullah Saw, dalam mimpinya beliau diminta oleh Rosulullah, agar menyusun sair-sair indah yang berisikan shalawat kepada Rosulullah Saw, setelah itu beliau diberikan hadiah “Burdah” atau jubah oleh Rosulullah Saw, dan ketika terbangun beliua sudah sembuh dari kelumpuhan-nya.
Selain disebut dengan sebutan Qasidah Burdah, Qasidah Bur’ah, atau Al-Kawakibud Durriyyah Fii Madhi Khairil Bariyyah, kitab ini juga disebut “Qasidah mimy” sair-sair yang berakhiran dengan huruf “mim”.
Burdah memang tak hanya mantera yang dibaca karena keindahan kata-katanya. meskipun dipenuhi doa doa yang bisa memberi manfaat pada jiwa. Karena itu tak heran jika banyak ulama memberikan catatan khusus tentang burdah, baik dalam bentuk syarah (komentar) atau hasiyah (catatan kaki atau catatan pinggir).
Sebagaimana yang kami ketahui, sangat banyak karya syarah (komentar) atas kumpulan sair al-Burdah yang tak diketahui lagi siapa mushanif (pengarangnya). Hanya yang bisa dicatat dan diketahui namanya karena menjadi bahan kajian di beberapa universitas seperti mesir, dan santri-santri salaf adalah karya al-Imam Jalaluddîn Al Mahalli Asy Syagi yang wafat tahun 864 H, al-Imam Zakaria Al Anshari yang wafat tahun 926 H, Imam Al-Qasthâlani yang wafat tahun 923 H, Syaikh Al-Malla Ali Qari al-Hanafi yang wafat tahun 1014 H, Syaikh Ibrahim Al Bajuri yang wafat tahun 1276 H, dan Syekh Ali bin Rasul as-Sausini yang wafat tahun 1161 H. Dr. Zaki Mubarak ahli sastra Arab dan Mesir dalam skripsinya Al Madaihun Nabawiyah menyebutkan bahwa gaya puisi Al Burdah banyak mempengaruhi karya karya kemudian.
Qasidah burdah tidak asing lagi bagi para muslim seantero jagat raya ini, termasuk para muslim Nusantara, terlebih bagi para santri khusus-nya di Jawa.
Di Hadhramaut dan banyak daerah Yaman lainnya diadakan pembacaan qashidah Burdah setiap subuh hari Jum’at atau ashar hari Selasa. Sedangkan para ulama Al-Azhar di kota Mesir banyak yang mengkhususkan hari Kamis untuk pembacaan Burdah dan mengadakan kajian. Sampai kini masih diadakan pembacaan Burdah di masjid-masjid besar di kota Mesir, seperti Masjid Imam Al-Husain, Masjid As-Sayyidah Zainab.
Di negeri Syam (Syiria) majelis-majelis qashidah Burdah juga digelar di rumah-rumah dan di masjid-masjid, dan dihadiri para ulama besar. Di Maroko pun biasa diadakan majelis-majelis besar untuk pembacaan qashidah Burdah dengan lagu-lagu yang merdu dan indah yang setiap pasal dibawakan dengan lagu tertentu.
Begitujuga di Malaysia, di Nusantara biasanya para santri juga melantunkan syair-syair burdah dengan berbagai macam lagu pada tiapa pergantian pasal, bahkan banyak sekali yang menghafalkan-nya, dan ada juga yang mengkhususkan Majlis rutinan shalawat Burdah.
Selain itu, Karya qasidah Burdah juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Indonesia/Melayu, Inggris, Prancis, Jerman, Italia.
Sebagaiman sarat dengan sejarah penulisan-nya, sair-sair burdah disusun yang sebelum-nya al-Imam Busyiri mengalami penyakit lumpuh, akan tetapi pasca mengubah gubahan sair sair burdah tersebut, beliau bermimpi bertemu Rosulullah Saw, dalam mimpinya beliau diminta oleh Rosulullah, agar menyusun sair-sair indah yang berisikan shalawat kepada Rosulullah Saw, setelah itu beliau diberikan hadiah “Burdah” atau jubah oleh Rosulullah Saw, dan ketika terbangun beliua sudah sembuh dari kelumpuhan-nya.
Selain disebut dengan sebutan Qasidah Burdah, Qasidah Bur’ah, atau Al-Kawakibud Durriyyah Fii Madhi Khairil Bariyyah, kitab ini juga disebut “Qasidah mimy” sair-sair yang berakhiran dengan huruf “mim”.
Burdah memang tak hanya mantera yang dibaca karena keindahan kata-katanya. meskipun dipenuhi doa doa yang bisa memberi manfaat pada jiwa. Karena itu tak heran jika banyak ulama memberikan catatan khusus tentang burdah, baik dalam bentuk syarah (komentar) atau hasiyah (catatan kaki atau catatan pinggir).
Sebagaimana yang kami ketahui, sangat banyak karya syarah (komentar) atas kumpulan sair al-Burdah yang tak diketahui lagi siapa mushanif (pengarangnya). Hanya yang bisa dicatat dan diketahui namanya karena menjadi bahan kajian di beberapa universitas seperti mesir, dan santri-santri salaf adalah karya al-Imam Jalaluddîn Al Mahalli Asy Syagi yang wafat tahun 864 H, al-Imam Zakaria Al Anshari yang wafat tahun 926 H, Imam Al-Qasthâlani yang wafat tahun 923 H, Syaikh Al-Malla Ali Qari al-Hanafi yang wafat tahun 1014 H, Syaikh Ibrahim Al Bajuri yang wafat tahun 1276 H, dan Syekh Ali bin Rasul as-Sausini yang wafat tahun 1161 H. Dr. Zaki Mubarak ahli sastra Arab dan Mesir dalam skripsinya Al Madaihun Nabawiyah menyebutkan bahwa gaya puisi Al Burdah banyak mempengaruhi karya karya kemudian.
Qasidah burdah tidak asing lagi bagi para muslim seantero jagat raya ini, termasuk para muslim Nusantara, terlebih bagi para santri khusus-nya di Jawa.
Di Hadhramaut dan banyak daerah Yaman lainnya diadakan pembacaan qashidah Burdah setiap subuh hari Jum’at atau ashar hari Selasa. Sedangkan para ulama Al-Azhar di kota Mesir banyak yang mengkhususkan hari Kamis untuk pembacaan Burdah dan mengadakan kajian. Sampai kini masih diadakan pembacaan Burdah di masjid-masjid besar di kota Mesir, seperti Masjid Imam Al-Husain, Masjid As-Sayyidah Zainab.
Di negeri Syam (Syiria) majelis-majelis qashidah Burdah juga digelar di rumah-rumah dan di masjid-masjid, dan dihadiri para ulama besar. Di Maroko pun biasa diadakan majelis-majelis besar untuk pembacaan qashidah Burdah dengan lagu-lagu yang merdu dan indah yang setiap pasal dibawakan dengan lagu tertentu.
Begitujuga di Malaysia, di Nusantara biasanya para santri juga melantunkan syair-syair burdah dengan berbagai macam lagu pada tiapa pergantian pasal, bahkan banyak sekali yang menghafalkan-nya, dan ada juga yang mengkhususkan Majlis rutinan shalawat Burdah.
Selain itu, Karya qasidah Burdah juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Indonesia/Melayu, Inggris, Prancis, Jerman, Italia.
Comments
Post a Comment