sejarah pondok pesantren bahrul 'ulum jombang
SEJARAH PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM
TAMBAKBERAS JOMBANG
A.
PENDAHULUAN
Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang merupakan salah satu pondok
pesantren tertua dan terbesar di Jawa Timur yang hingga saat ini masih survive
di tengah kecenderungan kuat system pendidikan formal. Dengan kultur dan
kesederhanaan yang mandiri serta dekat dengan masyarakat. Pondok Pesantren
Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang terus melakukan pengembangan dan perubahan
seiring dengan dinamika perkembangan dan tuntutan global, dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai luhur kepesantrenan dan prinsip-prinsip Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah.
Salah satu
upaya yang telah dilakukan di tengah kecenderungan kuat system pendidikan
formal, Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang hingga saat ini telah
mendirikan 18 unit pendidikan mulai pendidikan pra sekolah hingga perguruan
tinggi. Di samping itu Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang juga
menjalin kerja sama dalam bidang pendidikan dengan perguruan tinggi dalam dan
luar negeri, di antaranya adalah ; Makkah, Syiria dan Al-Azhar Kairo.
Secara
structural Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang berada di bawah
naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Yayasan ini
berdiri sejak tahun 1966 melalui Akte Notaris NO.03 Tanggal 6 September 1966 di
hadapan Notaris Soembono Tjiptiwidjojo dahulu wakil notaris di Mojokerto.
B.
LOKASI DAN
SEJARAH PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM
1.
Lokasi
Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang terletak di Dusun Tambakberas, Desa
Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur, tepatnya
kurang lebih 3 km. sebelah utara kota Jombang. Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang secara keseluruhan menempati area tanah seluas kurang lebih
10 hektar.
2.
Sejarah Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang
Generasi I (Era
Rintisan)
Sekitar tahun 1825 Masehi di sebuah
daerah yang tak jauh dari pusat keramaian kota Jombang, tepatnya di Dusun
Gedang datanglah seorang ulama’ pendekar atau pendekar ulama’ bernama
Abdussalam, dikatakan bahwa beliau adalah salah satu dari sekian prajurit yang
berperang melawan penjajah bersama Pangeran Dipenogoro. Beliau juga adalah
keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, dengan silsilah sebagai
berikut : Abdussalam putra Abdul Jabbar putra Abdul Halim (Pangeran Benowo)
putra Abdurrohman (Jaka Tingkir).
Kedatangan Abdussalam ke desa ini
merupakan pembuka daerah tersebut yang semula masih hutan belantara ± 13 tahun
dia bergelut dengan semak belukar untuk dibabatnya dan dijadikan perkampungan
yang dihuni oleh manusia, setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan mulailah
ia membuat gubuk ia berda’wah yaitu sebuah pesantren kecil terdiri dari sebuah
langgar dan bangunan tempat tinggal sederhana. Dan pondok pesantren tersebut
terkenal dengan sebutan Pondok Nyelawe (red jawa) atau Telu(red jawa)
ini menjadi istilah masyarakat setempat karna jumlah santri yang hanya 25 orang
dan 3 lokal beserta musholanya, hal ini terjadi pada tahun ± 1838.
Abdussalam bukan hanya berdakwah
dengan melakukan pengajaran saja,tapi sebagaiman lazimnya ulama’ pada masa itu,
beliau juga dibekali dengan ilmu kanuragan, ilmu kekebalan, ilmu meramu
jampi-jampi dan ilmu pengobatan. Hingga saat ini di depan Kantor Pondok Induk
Bahrul ‘Ulum masih terdapat lumping, yakni sebuah batu besar yang
digunakan Abdussalam untuk menumbuk ramuan-ramuan. Tentang ilmu kanuragannya,
Abdussalam pernah membuktikannya ketika seorang penjajah Belanda datang bersama
kudanya tanpa sopan santun menghadap kepada beliau, tanpa kompromi beliau
menghentaknya hingga penjajah Belanda itu dan kudanya mati seketika, saat
itulah beliau juga dikenal dengan nama Mbah Shoihah (Arab ; hentakan).
Nama Mbah Shoihah ini lebih dikenal dari pada nama beliau sendiri.
Mbah Shoihah beristrikan wanita dari
Demak bernama Muslimah, dari hasil pernikahannya ini mereka dikaruniai beberapa
putra dan putri yaitu : Layyinah, Fathimah, Abu Bakar, Marfu’ah, Jama’ah,
Muthohharoh,Ali, Ma’un, Fatawi dan Abu Syakur.
Generasi II
(Klasifikasi Keilmuan)
Mbah Shoihah seperi yang telah
disebutkan di atas mempunyai dua puluh lima santri, lazimnya lagi dulu seorang kyai
kerap menjodohkan putrinya kepada santri-satrinya yang dianggap mempunyai ilmu
yang lebih tinggi dibanding santri yang lainnya. Ada dua santri yang dianggap
Mbah Shoihah mampu meneruskan perjuangannya yakni ‘Utsman dan Sa’id. ‘Utsman
dijodohkan dengan putri pertama yang bernama Layyinah dan Sa’id dijodohkan
dengan putri yang kedua yakni Fathimah.
Kyai ‘Utsman dan Nyai Layyinah
dikaruniai seorang putri bernama Halimah yang di kemudian hari namanya dirubah
menjadi Winih, setelah menginjak remaja Winih dinikahkan seorang pemuda dari
Demak yang bernama Asy’ari. Dari garis Asy’ari inilah lahir Hadhrotus SyaiKH. Muhammad Hasyim Asy’ari
(Rois Akbar Nahdhotul ‘Ulama dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, lahir pula
KH.. Abdul Wahid Hasyim (Menteri Agama RI yang pertama) dan KH. Abdurrohman
Wahid (Presiden RI ke-4). Pada pengembangannya Kyai ‘Utsman terlebih dahulu
meminta izin kepada mertuanya untuk mengembangkan pondoknya di Gedang Timur
(sebelah timur Gedung Serba Guna Hasbulloh Sa’id). Penekanan Kyai ‘Utsman dalam
membimbing santrinya lebih menitik beratkan masalah thoriqot/tashowwuf sehingga
pondok Kyai ‘Utsman ini dikenal dengan Pondok Thoriqot.
Sedangkan Kyai Sa’id dan Nyai
Fathimah dikaruniai empat orang anak yakni: Kasmnah, Hasbulloh (sebelum haji
bernama Kasbi), Syafi’i (sebelum haji bernama Kasdu) dan ‘Ashim (sebelum haji
bernama Kasmo). Dari jalur kyai Sa’id inilah yang menurunkan generasi-generasi
pembesar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang selanjutnya. Potensi
yang dikembangkan Kyai Sa’id berpusat di Gedang Barat banyak berisikan
ilmu-ilmu syari’at sehingga pondok Kyai Sa’id ini dikenal dengan Pondok
Syari’at.
Perbedaan klasifikasi keilmuan ini
bagi mereka bukanlah suatu ajang perlombaan untuk menentukan mana yang terbaik
di antara mereka, tetapi kedua pondok ini (Pondok Thoriqot dan Pondok Syari’at)
dapat berjalan beriringan dengan memberikan dukungan dalam berbagai hal demi
kemajuan masing-masing.
Generasi III
(Munculnya Dusun Tambakberas)
Setelah Kyai ‘Utsman wafat, Pondok
Thoriqot tidak ada yang meneruskan karena Kyai ‘Utsman tidak mempunyai anak
laki-laki, sedangkan Kyai Asy’ari (menantu Kyai ‘Utsman) membawa sebagian
santrinya yakni ke Desa Keras yang nantinya menjadi cikal bakal Pondok
Pesantren Tebuireng dan yang sebagiannya lagi diasuh oleh Kyai Hasbulloh (putra
kedua Kyai Sa’id).
Hasbulloh muda sadar bahwa ia berada
pada situasi dan kondisi yang saat itu masih sangat jarang sekali ‘ulama, maka
Hasbulloh muda membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu seperti ; ilmu
kalam, ilmu fiqh dan ilmu kanuragan. Sehingga pada saat Kyai Habulloh sangat
disegani oleh orang lain bahkan pejabat-pejabat pemerintah Hindia Belanda pada
masa itu.
Kyai Hasbulloh juga terkenal sebagai
kyai yang kaya raya, mempunyai tanah pertanian yang sangat luas sehingga dengan
mudahnya beliau membangun pondok dan masjid tanpa menerima sumbangan apapun
dari orang lain. Saat itu gudang beras Kyai Hasbulloh sampai-sampai tidak
tersedia tempat lagi untuk dijadikan tempat penyimpanan. Saat itulah Dusun itu
mulai dinamai Dusun Tambakberas karena melimpahnya stok beras Kyai Hasbulloh
yang mengalir terus bagaikan tambak.
Perjuangan Kyai Hasbulloh dalam
membangun pondoknya ditemani seorang wanita yang bernama Nyai Lathifah (asalnya
A’isyah) yang berasal dari Desa Tawangsari, Sidoarjo. Pernikahan Kyai Hasbulloh
dan Nyai Lathifah ini dikaruniai putra dan putri yakni ; Abdul Wahab, Abdul
Hamid, KH.odijah (istri KH. Bishri Syamsuri), Abdurrohim, Fathimah (istri KH.
Hasyim Idris), Sholihah, Zuhriyyah dan Aminatur Rohiyyah.
Kyai Hasbulloh juga menyadari betul
bahwa untuk kelanjutan pondok yang diasuhnya harus ada regenerasi, oleh sebab
itu Kyai Hasbulloh mempunyai inisiatif untuk mengirim saluruh putra-putrinya
untuk belajar agama, bahkan yang tertua Abdul Wahab pernah dikirim ke luar
negeri (Makkah) beberapa tahun. Sang istri Nyai Lathifah pun tidak tinggal
diam, beliau juga ikut membantu perkembangan pondok dengan mengikutsertakan
para santri putri. Tanpa dirasa Tiga generasi sudah dilalui Pondok Pesantren
Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
Generasi IV
(Era Pembaharuan)
1.
Era Pembaharuan
Pertama
Pada tahun 1914 KH. Abdul Wahab
Hasbulloh (putra tertua Kyai Hasbulloh) kembali dari tugas belajarnya di tanah
suci Makkah, setelah kembali beliau mulai melakukan banyak terobosan-terobosan
dalam system pendidikan di pondok ayahnya, beliau mengubah system pendidikan
halaqoh menjadi system pendididkan madrasah. Pembaharuan yang dilakuakan KH.
Abdul Wahab Hasbulloh ini banyak mendapat tentangan keras dari ayahnya
sampai-sampai KH. Abdul Wahab Hasbulloh pernah ketika mengajar diusir ayahnya
sambil melemparinya dengan batu, karena menurut ayahnya cara yang dilakukan KH.
Abdul Wahab Hasbulloh menyerupai penjajah Belanda. Karena pengajaran dengan
system ini tidak direstui oleh ayahnya maka KH. Abdul Wahab Hasbulloh memindah
pengajiannya ke Dusun Brangkulon, tetapi tak lama kemudian KH. Abdul Wahab
Hasbulloh diizinkan kembali untuk mengajar dengan system madrasah.
Dengan system ini Pondok Pesantren
Tambakberas berkembang dengan pesat dan pada tahun 1915 KH. Abdul Wahab
Hasbulloh mendirikan madrasah yang pertama (yang sekarang ditempati Gedung
Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang). Madrasah tersebut
diberi nama Madrasah Mubdil Fan.
Tahun 1920 Kyai Hasbulloh wafat,
maka pondok pesantren ini dilanjutkan oleh KH. Abdul Wahab Hasbulloh dengan
dibantu adiknya yang kebetulan juga baru pulang dari studinya di tanah suci, yakni
KH. Abdul Hamid Hasbulloh dan KH. Abdurrohim Hasbulloh. Dalam management pengelolaannya
KH. Abdul Wahab Hasbulloh selaku pengasuh utama menyerahkan urusan pondok
pesantren kepada KH. Abdul Hamid Hasbulloh dan KH. Abdurrohim Hasbulloh
bertanggung jawab pada pengelolaan madrasah, di samping juga karena KH. Abdul Wahab
Hasbulloh kiprahnya lebih banyak di organisasi social kemasyarakatan. Salah
satu organisasi yang didirikannya yakni Tashwirul Afkar yang berpusat di
Surabaya dan pada tahun 1926 beliau bersama-sama dengan gurunya KH. M. Hasyim
Asy’ari dan adik iparnya KH. Bishri Syamsuri mendirikan organisasi Nahdhotul
‘Ulama yang kiparahnya terus berkembang hingga saat ini.
2.
Era Pembaharuan
Kedua
Pada tahun 1942 KH. Abdul Hamid
Hasbulloh dan KH. Abdurrohim Hasbulloh memanggil keponakannya yang bernama KH.
Abdul Fattah Hasyim (putra KH. Hayim Idris) yang saat itu masih mengabdi di
pondok pesantren mertuanya KH. Bishri Syamsuri (istri beliau yakni Nyai
Musyarrofah Bishri) di Denanyar, sebagi upaya regenerasi KH. Abdurroim
menyerahkan estafet kepemimpinan madrah kepada KH. Abdul Fattah Hasyim.
Saat itu Jepang tengah berkuasa di
Indonesia, semua madrasah ditutup tidak boleh melakukan kegiatannya, akhirnya
berkat jasa KH. Abdul Fattah Hasyim besama beberapa pengasuh yang lain
mengajukan banding sehingga dengan syarat-syarat tertentu kegiatan di madrasah
dapat diselenggarakan kembali.
Tahun 1943 KH. Abdurrohim Hasbulloh
wafat, tugas-tugas beliau sepenuhnya langsung diserahkan kepada KH. Abdul
Fattah Hasyim dibantu sahabat setianya KH.
Abdul Jalil Abdurrohman (Bulak, Mojokrapak) dan madrasah pun berkembang semakin
pesat. Jumlah santri yang berdatangan semakin banyak sehingga KH. Abdul Fattah
Hasyim mendirikan gedung madrasah di dekat rumahnya yang oleh KH. Abdul Wahab
Hasbulloh diberi nama Madrasah Ibtida’iyyah Islamiyyah (MII) yang merupakan
cikal bakal Madrasag Ibtida’iyyah Bahrul ‘Ulum (MI-BU). Sekitar tahun 1944/1945 lahir madrasah putri
pertama yang diprakasai oleh Nyai Hj. Mas Wardiyyah (istri KH. Abdurrohim
Hasbulloh). Di samping itu pada tahun 1951 KH. Abdul Fattaah Hasyim dengan
restu KH. Abdul Wahab Hasbulloh mendirikan Pondok Pesantren Putri
Al-Fathimiyyah serta pada tahun 1956 mendirikan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat
4 Tahun.
Bahasa yang lazim digunakan pada
waktu itu adalah bahasa Jawa, tetapi di bawah pimpinan KH. Abdul Fattah Hasyim
mulai digunakan bahasa Indonesia terutama setelah beliau mengikuti penataran di
Jakarta, bahkan ketika bahasa Jepang juga dimasukkan pada kurikulum madrasah.
Para santri pada saat itu (setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustu 1945) merangkap tugas juga untuk berjuang
melawan penjajah. Hampir setiap hari para santri mendengar dentuman meriam,
pondok pun beralih fungsi menjadi markas pasukan dan para santri juga
menggabungkan diri dalam Laskar Hizbulloh yang ketika itu dipanglimai oleh KH.
M. Wahib Wahab (putra tertua KH. Abdul Wahab Hasbulloh).
Tahun 1956 KH. Abdul Hamid Hasbulloh
wafat maka pengelolaan pondok dilanjutkan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim dan pada
pengelolaan madrasah sempat terjadi kekosongan, Pak Mamas dari Tulungagung
penah mengisi kekosongan ini tetapi tak bertahan lama dan juga Abdurrohman
Wahid (Gus Dur) yang padahal saat itu statusnya masih sebagai santri di
Tambakberas.
Setelah KH. Ahmad Al-Fatih
Abdurrohim (putra tertua KH. Abdurrohim Hasbulloh) pulang dari studinya di
Yogyakarta dan Abdurrohman Wahid telah kembali ke Jakarta maka urusan madrasah
akhirnya diserahkan kepada beliau, hal itu terjadi pada tahun 1961. KH. Ahmad
Al-Fatih Abdurrohim membawa madrasah berkembang semakin pesat. Di antara jasanya
adalah: mengadakan kajian ulang terhadap buku-buku pegangan guru, sarana
madrasah yang mulai dibenahi dan pada tahun 1964 melakukan penyesuaian
kurikulum sehingga Madrasah Mu’allimin Mu’allimat yang semula hanya ditempuh
dalam kurun waktu 4 tahun menjadi 6 tahun dan berubah nama menjadi Madrasah
Mu’allimin Mu’allimat Atas, setelah perubahan ini maka lulusan-lulusan
berikutnya dapat diterima di berbagai perguruan tinggi,baik negeri maupun
swasta.
Pada tahun 1965 KH. Abdul Wahab
Hasbulloh memberi nama pondok ini dengan nama Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang.
Pada tahun 1969 ketika Menteri Agama
RI saat itu KH. M. Dahlan berkunjung ke Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang telah disepakati bersama setelah adanya rundingan keluarga
besar Bani Hasbulloh untuk menegerikan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Atas
dengan perincian :
I.
Kelas I,II,III
menjadi MTs AIN (Madrasah Tsanawiyyah Agama Islam Negeri) yang dipimpin oleh Bapak
Drs. H. M. Syamsul Huda SH. M.HI (Denanyar), madrasah ini merupakan cikal bakal
Madrasah Tsanawiyyah Negeri Tambakberas Jombang (MTsN Tambakberas Jombang).
II.
Kelas IV,V,VI
menjaddi MA AIN (Madrasah Aliyyah Agama Islam Negeri) yang dipimpin oleh KH.
Ahmad Al Fatih Abdurrohim, madrasah ini merupakan cikal bakal Madrasah Aliyyah
Negeri Tambakberas Jombang (MAN Tambakberas Jombang).
Pada tanggal 29 Desember 1971, KH.
Abdul Wahab Hasbulloh selaku pengasuh utama Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang dan salah satu pendiri Nahdhotul ‘’Ulama berpulang ke
rohmatulloh, lalu Kepemimpinan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang diteruskan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim yang dibantu oleh dzurriyyah
Bani Hasbulloh yang lain dan KH. M. Wahib Wahab menjadi sesepuh Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Pada tahun 1974 KH. Abdul Fattah
Hasyim mulai merintis Perguruan Tinggi yang diberi nama Ma’had Aly, tapi itu
hanya bertahan selama 2 tahun.
3.
Era Pembaharuan
Ketiga
Pada tahun 1977 KH. Abdul Fattah
Hasyim wafat, setelah beliau wafat tapuk kepemimpinan Pondok Pesantren Bahrul
‘Ulum Tambakberas Jombang. Dilanjutkan oleh KH. M. Najib Wahab (putra ketiga KH.
Abdul Wahab Hasbulloh). KH. M. Najib Wahab mempunyai reputasi cemerlang dalam
membawa Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang pada pentas nasional,
beliau juga menjabat sebagai Rois Syuriyyah PBNU Pusat. Pada taun 1985 beliau
bersama-sama pengasuh yang lain juga menghidupkan kembali Ma’had Aly menjadi
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyyah (STIT) dengan menunjuk Drs. H. M. Syamsul Huda,
SH. M.HI sebagai ketuanya. Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua
Robithoh Ma’ahid Islamiyyah Pusat (RMI Pusat), beliau dengan kapasitasnya tersebut
mengadakan Usbu’ul Ma’ahid (Pekan Pondok Pesantren se-Jawa Timur). Dalam
kepengurusan Ta’mir Masjid Jami’ PPBU KH. M. Najib Wahab mengamanatkannya
kepada KH. M. Sholeh Abdul Hamid sebagai ketuanya,beliau juga mengadakan
pengajian sentral setiap Senin malam Selasa. Hingga tahun 1987 ketika KH. M.
Najib Wahab wafat maka sejak saat itu Kepemimpinan Pondok Pesantren Bahrul
‘Ulum Tambakberas Jombang mulai menggunakaan system kepemimpinan kolektif.
Generasi V (Era
Kepemimpinan Kolektif)
Seiring dengan perkmbangan zaman
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang yang dari tahun ke tahun
berkembang semakin pesat, baik itu dalam segi kuantitas santrinya maupun lembaga-lembaga
formal yang ada di dalamnya, maka untuk memaksimalkan potensi yang sudah ada
diperlukan suatu management kepemimpinan pondok pesantren yang konstruktif,
jelas, terprogram dan terarah. Berangkat dari ide dasar itulah maka kemudian
lahir pemikiran untuk membagi management kepemimpinan pondok menjadi :
1.
Majelis
Pengasuh, yang berfungsi sebagaai legislative yang memiliki otoritas atau
pemegang kebijakan tertinggi.
2.
Pengurus
Yayasan, yang berfungsi sebagai eksekutif yang menjalankan semua program pengembangan
dan pemberdayaan pendidikan semua lembaga yang berada di bawah naungan Yayasan
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
3.
Dewan Pengawas,
yang berfungsi sebagai udikatif yaitu mengawasi, memberikan pertimbangan kepada
Pengurus Yayasan dan memberikan masukan kepada Majelis Pengasuh. Dibentuknya
Dewan Pengawas dalam struktur management Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang yakni sejak tahun 2002 sebagai konsekuensi diberlakukannya
Undang-Undang RI NO. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Hingga saat ini, sejak kepemimpinan
kolektif diterapkan, sudah mengalami tiga periode kepemimpinan Majelis Pengasuh
:
1.
(Almaghfurlah) KH.
M. Sholeh Abdul Hamid, 1987-2006
Pada masa kepemimpinan beliau,
jabatan Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang
telah mengalami beberapa kali pergantian yaitu KH. Ahmad Al Fatih Abdurrohim
(1990-1994), Drs. KH. M. Hasib Wahab (1994-1998), Drs KH. M. Fadhlulloh Malik
(1998-2002) dan KH. Ahmad Taufiqurohman Fattah (beliau menjabat selama dua periode,
yakni tahun 2002-2006 dan 2006-2009).
Pada saat Ketua Umum Yayasan Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dijabat oleh KH. Ahmad
Taufiqurrohman Fattah, kemudian dimunculka peran yudikatif (Dewan Pengawas)
sebagai kosekuensi diberlakukannya Undang-Undang RI NO 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan dan sebagai ketuanya adalah Nyai Hj Mundjidah Wahab untuk periode
2002-2006, dan ketika periode 2006-2009 Dewan Pengawas terdiri dari KH.
Fathulloh Abdul Malik, Drs. KH.. M. Faruq Zawawi,M.Ag, Nyai Hj. Salma Nashir
dan Ir. Edi Labib Patriaddin.
2.
(Almaghfurlah)
Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim, 2007-2008
Ketika KH. M. Sholeh Abdul Hamid
wafat pada hari Senin malam Selasa tanggal 16 Syawal 1427 H/7 November 2006
tapuk kepemimpinan Majelis Pengasuh dipegang oleh Drs. KH. Amanulloh
Abdurrohim, sedangkan Ketua Umum Yayasan masih dijabat oleh KH. Ahmad
Taufiqurrohman Fattah. Beberapa
kebijakan penting yang diambil oleh Drs KH. Amanullloh Abdurrohim saat menjabat
sebagai Ketua Majelis Pengasuh antara lain: diselenggarakannya Pertemuan Alumni
Bahrul ‘Ulum Tingkat Nasional yang akhirnya membentuk suatu wadah ikatan alumni
yang bernama Ikatan Alumni Bahrul ‘UIum (IKABU), selain untuk kembali
mengharumkan nama Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang di bumi
nusantara beliau juga mengadakan Pertemuan ‘Ulama dan Umaro’ se-Jawa dan
Madura, satu program besar lain yang dicanangkan beliau yakni pembangunan
gedung serba guna yang direncanakan berfungsi sebgai balai pertemuan maupun
sarana olaraga santri Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Namun
sebelum pembangunan itu terealisir, beliau sudah diapnggil oleh Alloh
Subhanallohu Ta’ala pada 13 November 2007 pada usia 65 tahun, satu tahun persis
setela meninggalnya KH. M. Sholeh Abdul Hamid.
Sejak Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim
wafat, jabatan Ketua Majelis Pengasuh sesuai
kebijakan yang diambil semua anggota Majelis Pengasuh dikosongkan untuk
sementara waktu sampai berakhirnya kepengrusan tahun 2009 nanti dan tepat pada
tahun itu juga KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah wafat. Dan untuk menjalankan
roda organisasi di Majelis Pengasuh sesuai dengan mekanisme dan job yang telah
ditentukan maka untuk pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan lembaga
pondok pesantren dipegang oleh KH. Abdul Nashir Fattah, sedangkan yang
berkaitan dengan lembaga formal dan hubungan dengan lembaga di luar Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dipegang oleh Drs. KH. M. Hasib Wahab
dan sebagai Katibnya adalah KH. M. Irfan Sholeh, S.Pd. Adapun anggota Majelis
Pengasuh sebagai berikut: Nyai Hj. Musyarrofah Fattah, Nyai Hj. Mahfudhoh Aly
Ubaid, Nyai Hj. Mundjidah Asy’ari, Nyai Hj. Hurun ‘Ain Malik, Nyai Hj. Hafshoh
Yahya, Nyai Hj. Zubaidah Nashrulloh, Nyai Hj. Muhtarroh Al-Fatih,Nyai Hj Nur
Fiatin Amanulloh, KH. M. Jamaluddin Ahmad dan KH. M. Sulthon Abdul Hadi.
3.
Drs. KH. M.
Hasib Wahab, 2009-2013
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang sampai dengan tahun 2012 ini telah berusia 187 tahun
sedangkan madrasahnya telah berusia 97 tahun. Di usianya yang telah jauh
melebihi bangsa ini Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang telah
berkembang pesat dengan beragam jenis dan jenjang pendidikan. Hingga saat ini
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang memiliki 33 unit asrama
pondok pesantren dan 19 unit pendidikan formal mulai pra sekolah sampai
perguruan tinggi. Selanjutnya mulai tahun itu pula (2009) melalui Musyawarah
Besar (MUBES) Bani Hasbulloh Sa’id yang merupakan forum tetinggi Yayasan Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang disepakatilah bahwa estafet
kepemimpinan (sepeninggal Almaghfurlah Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim dan
Almaghfurlah KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah) melalui rundingan dan musyawaroh
maka Ketua Majelis Pengasuh dijabat oleh Drs. KH. M. Hasib Wahab, KH. M. Irfan
Sholeh sebagai Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang dan Nyai Hj. Hizbiyyah Abdurrohim sebagai Ketua Umum Yayasan
Universitas Bahrul ‘Ulum (UNIBA) untuk masa khidmah 2009-2013. Adapun nama-nama
anggota Majelis Pengasuh adalah: KH. Abdul Nashir Fattah (Wakil Ketua), KH. M.
Fadhlulloh Malik (Wakil Ketua), KH. M. Jamaluddin Ahmad, KH. M. Sulthon Abdul
Hadi, Nyai Hj. Mahfudhoh Aly Ubaid, Nyai Hj. Mundjidah Wahab, Nyai Hj. Hurun
‘Ain Malik, Nyai Hj. Hafshoh Yahya, Nyai Hj. Muhtarroh Al-Fatih, Nyai Hj.
Zubaidah Nashrulloh dan H M. Sholahul ‘Aam sebagai Katib.
C.
SEJARAH NAMA
DAN LAMBANG PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM
Sejarah panjang
pondok pesantren ini, sewak awal pendiriannya oleh Mbah Shoihah, dikenal dengan
nama Pondok Telu atau Pondok Selawe. Dan pada masa Kyai Hasbulloh
pondok pesantren ini dikenal dengan sebutan Pondok Tambakberas. Hingga pada
masa KH. Abdul Wahab Hasbulloh pada tahun 1965 empat orang santri beliau
dipanggil menghadap (sowan), keempat santri beliau tersebut adalah Ahmad
Junaidi (Bangil), M. Masrur Dimyati (Dawar Blandong Mojokerto), Abdulloh Yazid
Sulaiman (Keboan Ngusikan Jombang dan M. Syamsul Huda As. (Denanyar Jombang).
Waktu itu yang menjabat sebagai sekretaris pondok adalah Ahmad Taufiq dari Pulo
Gedang. Keempat santri beliau ini megajukan tiga nama alternative nama pondok
pesantren yaitu : Bahrul ‘Ulum, Darul Hikmah dan Mamba’ul ‘Ulum.
Dari ketiga
nama yang diajukan, KH. Abdul Wahab Hasbulloh memilih nama Bahrul ‘Ulum yang
artinya Samudera Ilmu yang kelak diharapkan Tambakberas benar-benar menjadi
samudera ilmu. Setelah itu beliau mengadakan sayembara pembuatan lambang pondok
pesantren. Setelah didapatkan pemenang, KH. Abdul Wahab Hasbulloh meminta pada
lambang pondok pesantren tersebut disisipkan ayat Al-Qur’an yakni Surat
Al-Kahfi 109, bahkan untuk proses ritualnya KH. Abdul Wahab Hasbulloh
memerintahkan salah seorang santri yang bernama M. Djamaluddin Ahmad (Pengasuh
Bumi Damai Al-Muhibbin sekarang) asal Gondang Legi Nganjuk untuk membacakan
Manaqib. Hingga saat ini nama dan lambang tersebut abadi menjadi identitas
resmi, Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
sss
ReplyDelete